Jakarta (ANTARA) - Tepat pada 24 Oktober 2022, tentara Rusia mulai menyerang Ukraina. Hingga satu tahun kemudian, masih belum ada titik terang bagaimana perang tersebut akan selesai.
Banyak pihak telah menyerukan untuk konflik itu segera berakhir, tetapi belum ada kesepakatan bagaimana mekanisme pasti untuk mencapainya.
Kedua belah pihak yang berseteru, baik Barat dan sekutu-sekutunya yang mendukung Ukraina di satu sisi, maupun Rusia dengan sokongan dari sejumlah negara, seperti Belarusia dan China di pihak lainnya, merasa optimistis bahwa akhir dari palagan ini adalah kemenangan di pihak mereka masing-masing.
Dalam pidatonya di taman Istana Kerajaan di Warsawa, Selasa (21/2), Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahannya bersama para sekutu akan terus mendukung Kiev, serta dengan lantang menyampaikan kepada publik dunia bahwa "Ukraina tidak akan pernah menjadi kemenangan bagi Rusia".
Presiden AS mengemukakan bahwa perang di Ukraina seharusnya tidak terjadi dan peristiwa itu merupakan sebuah tragedi serta setiap hari perang berlanjut, itu semua karena pilihan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Nada optimistis dan penuh keyakinan juga berulang kali disampaikan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Dalam wawancaranya dengan harian Italia, Corriere della Sera yang diterbitkan pada Minggu (19/2), Zelenskyy menyatakan Presiden Prancis Emmanuel Macron menyia-nyiakan waktunya dengan mempertimbangkan dialog dalam bentuk apa pun dengan Rusia.
Zelenskyy mengatakan itu guna mengomentari usulan Macron bahwa Rusia seharusnya "dikalahkan, tetapi tidak dihancurkan" dan bahwa konflik di Ukraina dapat diselesaikan melalui perundingan.
Senada dengan Biden, Zelenskyy menolak usulan bahwa sanksi Barat telah mendorong Presiden Rusia Vladimir Putin hingga terkucilkan, tetapi keputusan Putin untuk memulai perang yang membuatnya tersisih.
Macron dalam pernyataan terakhirnya juga mendorong negara-negara sekutu untuk meningkatkan dukungan militer bagi Ukraina.
Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Rabu (22/2), anggota Parlemen Eropa dari Jerman David McAllister juga menegaskan bahwa Putin memulai perang di Ukraina tanpa alasan yang dapat dibenarkan, sehingga keputusan untuk menghentikan perang sepenuhnya berada di tangan Presiden Rusia.
McAllister mengatakan, tidak ada kondisi untuk melakukan negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina untuk menghentikan perang, karena Rusia terus mengirim pasukan dan menyerang kota-kota di Ukraina.
Respons Putin
Presiden Putin sendiri, dalam pidatonya di hadapan parlemen Rusia pada Selasa (21/2), mengklaim bahwa Rusia tidak memulai perang, tetapi menggunakan kekuatan untuk mengakhiri konflik.
Selain itu, dengan semakin banyaknya persenjataan dengan jarak jelajah yang jauh yang dipasok Barat ke Ukraina, membuat Putin menyatakan bahwa semakin besar pula pihaknya terpaksa untuk menjauhkan ancaman itu dari perbatasan Rusia.
Dalam konteks hubungan internasional, Putin, sehari setelah pidato itu, juga menemui diplomat teras China, Wang Yi, guna mempererat hubungan antara kedua negara. Perbincangan kedua tokoh tersebut menekankan akan pentingnya hubungan antara Rusia dan China dalam rangka menjaga stabilisasi situasi internasional saat ini.
Pemerintahan China yang berpusat di Beijing memang tidak langsung dalam mendukung "operasi militer khusus" Rusia, tetapi mengutuk sanksi Barat terhadap Moskow.
Sebelum bertemu Putin, Wang Yi telah melakukan lawatan pula ke Hongaria pada Senin (20/2) dan menyatakan bahwa China dan Hongaria siap bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menghentikan permusuhan saat ini.
Wang Yi dalam kunjungannya ke Hongaria tersebut menyatakan bahwa yang diinginkan pihaknya adalah sebuah solusi politik untuk menyediakan kerangka kerja yang damai dan berkelanjutan untuk Eropa.
Sementara itu, Wakil Kepala Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev dalam media perpesanan Telegram pada Rabu (22/2), sebagaimana dikutip Anadolu, mengatakan perang di Ukraina akan berakhir jika Amerika Serikat berhenti memasok senjata ke Ukraina.
Medvedev menegaskan bahwa jika AS ingin mengalahkan Rusia, maka pihaknya berhak membela diri dengan senjata apa pun, termasuk senjata nuklir.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga telah mengumumkan keputusan untuk menangguhkan partisipasi Rusia dalam Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (START), yang bertujuan mengurangi jumlah peluncur rudal nuklir strategis.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan bahwa pihaknya telah bekerja sama secara kreatif dengan berbagai pihak untuk mencari solusi atas perang tersebut.
Mengingat sudah banyaknya korban baik mereka yang tewas, terluka, maupun terpaksa mengungsi akibat invasi tersebut, memang sudah selayaknya perang tersebut dapat segera dihentikan.
Perdamaian semu
Harus diingat pula bahwa dalam lintasan sejarah umat manusia, terdapat pula sejumlah contoh dari kesepakatan "perdamaian semu", yaitu perdamaian yang ternyata menimbulkan dampak yang berbeda 180 derajat dari maksud awalnya.
Ambil contoh adalah Persetujuan Muenchen pada 30 September 1938, yang merupakan kesepakatan antara Nazi Jerman, Inggris Raya, Prancis, dan Italia.
Persetujuan Muenchen membuat Jerman, yang dipimpin diktator Adolf Hitler ketika itu, berhasil merebut Sudetenland dari tangan Cekoslowakia, hanya melalui meja perundingan. Hal tersebut membuat masyarakat Cekoslowakia saat itu merasa kecewa dan marah dan menyebut kesepakatan itu sebagai Pengkhiatanan Muenchen.
Banyak warga Eropa ketika itu menyambut gembira Persetujuan Muenchen, karena membuat Eropa tidak jatuh ke dalam peperangan besar. Bahkan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Neville Chamberlain, menyebut persetujuan itu sebagai "Perdamaian untuk masa kita".
Namun, sejarah membuktikan bahwa Persetujuan Muenchen ternyata tidak dapat menghentikan ambisi Hitler untuk terus menguasai berbagai daerah di Eropa, sehingga setahun setelahnya, Jerman mencaplok seluruh Cekoslowakia.
Tidak cukup dengan itu, Jerman dengan arahan Hitler juga terus berupaya meraup berbagai daerah lainnya, termasuk invasi Nazi Jerman ke Polandia pada 1 September 1939 yang mengawali terjadinya Perang Dunia Kedua.
Sementara contoh lainnya dari "perdamaian semu" yang kontroversial, antara lain pada akhir Perang Dunia Pertama, melalui Perjanjian Versailles pada 28 Juni 1919, yang membuat Jerman (sebagai pihak yang kalah) harus membayar beban biaya reparasi perang dalam jumlah sangat besar.
Ekonom Inggris terkemuka saat itu, John Maynard Keynes, menyebut Perjanjian Versailles sebagai "Perdamaian Kartago", istilah yang bermakna perdamaian yang bersifat sangat brutal karena menerapkan syarat yang sangat berat kepada pihak yang kalah agar dapat tunduk secara total kepada pihak pemenang.
Meski demikian, sejumlah pakar, seperti sejarawan Jerman, Gerhard Weinberg dalam bukunya "A World At Arms" menyatakan bahwa sebenarnya isi Perjanjian Versailles menguntungkan Jerman karena ketika itu, Jerman tidak diduduki pihak pemenang (seperti dalam akhir Perang Dunia Kedua bertahun-tahun kemudian).
Dengan belajar dari pengalaman berbagai bentuk perdamaian seperti itu, maka diharapkan konflik Rusia dengan Ukraina juga tidak berakhir dengan "perdamaian semu".
Sastrawan Rusia, Leo Tolstoy, dalam novelnya yang terkenal "War and Peace", menuliskan bahwa "prajurit yang terkuat adalah dua hal ini, kesabaran dan waktu".
Mudah-mudahan, kedua belah pihak yang bertikai dapat mengirimkan lebih banyak kesabaran dan waktu untuk merintis perdamaian sejati, dibandingkan dengan mengirimkan lebih banyak serdadu dan persenjataan, yang ujung-ujungnya membuat peperangan semakin berkepanjangan serta tidak menentu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Stop perang di Ukraina, bukan dengan "perdamaian semu"
Hentikan perang di Ukraina, tapi jangan dengan "perdamaian semu"
Jumat, 24 Februari 2023 11:35 WIB 1349