Denpasar (ANTARA) - Bali sudah terkenal sebagai pulau dengan pemandangan indahnya yang menjadi kemudian menjadi tujuan wisata favorit. Selain itu keberagaman budayanya yang unik juga tidak kalah menarik dari wilayah yang dikenal sebagai Pulau Dewata itu.
Selain dikenal dengan sebutan Pulau Dewata, Bali juga memiliki julukan lain, yaitu Pulau Seribu Pura. Hal ini merupakan cerminan dari mayoritas penduduknya yang beragama Hindu, sehingga di setiap sudut wilayah dapat dijumpai bangunan pura sebagai tempat peribadatan.
Meski mayoritas beragama Hindu, masyarakat Bali memiliki sikap toleransi yang tinggi dengan umat beragama lain.
Berdasarkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis oleh Kementerian Agama tahun 2021, Bali masuk sebagai provinsi yang memiliki Indeks KUB tertinggi dengan skor 77,95 persen, melampaui rata-rata nasional 72,39 persen.
Kerukunan antarumat beragama di Bali ini pun dapat dilihat secara nyata di Puja Mandala.
Puja Mandala adalah sebuah pusat peribadatan dengan lima rumah ibadah berbeda yang berada di dalam satu area kompleks.
Tempat ini berlokasi di Nusa Dua, Bali. Dengan jarak sekitar 23 km dari pusat Kota Denpasar, atau sekitar 12 km dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
Puja Mandala berasal dari kata “Puja” yang berarti Pemujaan dan “Mandala” adalah areal. Sehingga Puja Mandala dapat diartikan sebagai areal pemujaan.
Lima rumah ibadah yang disebutkan itu, antara lain adalah Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Kristen Protestan Bukit Doa dan Pura Jagat Natha.
“Kenapa lima? Kenapa tidak enam? Karena pada saat Puja Mandala ini dibangun dan diresmikan, Khonghucu belum dilegalkan oleh pemerintah,” kata Ketua Paguyuban antar-Umat Beragama Kompleks Puja Mandala Wayan Solo.
Puja Mandala mulai dibangun 1994 dan diresmikan pada 22 Desember 1997, dihadiri oleh Menteri Agama Tarmizi Thaher, Gubernur Bali Ida Bagus Oka serta kalangan tokoh masyarakat dan para pemuka agama di Bali.
Khonghucu baru diakui sebagai agama resmi di Indonesia pada tahun 2000 saat Presiden Abdurahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.
Awal mula
Serangkaian dengan pelaksanaan rencana pembangunan kawasan pariwisata internasional di Nusa Dua oleh Bali Tourism Development Corporation (BTDC) yang saat ini berubah menjadi Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), mengundang investor untuk membangun hotel serta mengelola dan memelihara kawasan pariwisata Nusa Dua.
Wayan Solo berpendapat bahwa pembangunan pariwisata perlu juga didukung dengan adanya pembangunan mental spiritual untuk masyarakat, sehingga ini menjadi dasar pemikiran tercetusnya Puja Mandala.
Kemajuan pariwisata identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), sehingga terbangunnya pariwisata internasional Nusa Dua itu perlu diimbangi dengan adanya untuk penguatan iman dan takwa.
Puja Mandala dibangun di atas lahan seluas 2,5 hektare di Desa Kampial yang merupakan lahan milik ITDC.
Pengumpulan dana untuk pembangunan kelima rumah ibadah tersebut murni digalang oleh kelompok agama masing-masing. Rancangan pembangunan diusulkan sejak tahun 1980-an, namun peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1994.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Gubernur Bali pada waktu itu Ida Bagus Oka berdasarkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang dikeluarkan oleh Bupati Badung.
Pembangunannya memakan waktu kurang lebih tiga tahun sebelum diresmikan pada tahun 1997 dengan menyelesaikan bangunan Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Paroki Maria Bunda Segala Bangsa dan Gereja Kristen Protestan Bukit Doa.
Sedangkan Vihara secara operasional dimulai pada tahun 2003, dan Pura Jagat Natha tahun 2004.
Kenapa pura paling belakang? Karena keberadaan pura kala itu tidak dianggap terlalu mendesak. Bali dengan mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, sudah memiliki banyak pura untuk tempat beribah umat.
Faktor lainnya adalah pada masalah dana yang perlu dikumpulkan sendiri oleh kelompok beragama Hindu untuk membangun Pura Jagat Natha, karena pembangunan tidak dibiayai oleh pemerintah.
Tujuan wisata
Sejatinya, Puja Mandala menjadi tempat beribadah bagi kaum beragama. Namun, lokasinya yang berada di kawasan pariwisata menjadikan tempat ini sebuah objek wisata budaya spiritual secara lokal dan internasional.
Selain menjadi alternatif berwisata, Puja Mandala juga kerap dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian.
Penelitian itu dilakukan dari intitusi pendidikan, termasuk mereka yang sedang mengerjakan disertasi untuk meraih gelar doktor.
Wayan Solo kembali bercerita bahwa kunjungan ke Puja Mandala tak hanya dari kalangan masyarakat, tetapi beberapa pejabat dan Presiden Jokowi pernah melakukan kunjungan dan melaksanakan ibadah di tempat itu.
Sebagai kumpulan dari tempat ibadah lima agama, heterogenitas kegiatan di kawasan Puja Mandala pun cukup beragam.
Sekretaris Masjid Agung Ibnu Batutah Jumali bercerita bahwa jumlah kunjungan tak menentu, namun paling banyak hingga mencapai 30-40 bus dalam sehari.
Saat sitauasi pandemi COVID-19, lokasi itu sepi pengunjung. Namun saat ini, sudah kembali normal dengan kunjungan 30-40 bus dalam sehari.
Kunjungan itu berasal dari sekolah-sekolah yang sedang melaksanakan studi kunjungan untuk memperkenalkan dan belajar mengenai simbol kerukunan beragama di Bali.
Bangunan rumah ibadah di Puja Mandala berdiri kokoh berdampingan tanpa sekat, menjadi bukti nyata toleransi beragama di Pulau Dewata.
Dibangun di pelataran bukit, sekilas kelima bangunan itu memiliki ketinggian sejajar, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan status dalam beragama di area tersebut.
Karena berada di satu area yang sama, tidak jarang terdapat momen keagamaan yang pelaksanaan ibadahnya juga dilaksanakan secara bersamaan.
Pada Tahun 2021 terdapat satu waktu perayaan yang bersamaan. Tepatnya pada 13 Mei 2021, Hari Raya Idul Fitri bagi kaum Muslim bersamaan dengan Hari Kenaikan Isa Al-Masih bagi penganut agama Kristen.
Biasanya Masjid Agung Ibnu Batutah menggelar Shalat Idul Fitri di lapangan karena jumlah jamaah yang cukup banyak, sehingga ruang di dalam masjid tidak cukup menampung. Namun pada saat itu kebijakan PPKM COVID-19 masih diberlakukan sehingga pelaksanaan Shalat Idul Fitri menjadi terbatas di dalam masjid saja.
Momen perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Kenaikan Isa Al-Masih secara bersamaan tersebut tak menjadikannya sebuah konflik, namun para pengelola justru saling berkoordinasi untuk menemukan jalan tengah.
Pihak Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Segala Bangsa dan Gereja Kristen Protestan Bukit Doa memberikan kesempatan kepada Umat Islam untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri di pagi hari terlebih dahulu, baru kemudian Umat Kristiani melakukan ibadah misa setelahnya.
Untuk menyatukan, mereka memiliki grup WA paguyuban antarumat beragama kompleks Puja Mandala. Jadi apapun yang mereka lakukan selalu dalam koordinasi dan kerja sama yang erat
Bentuk toleransi dan kerukunan beragama di kompleks Puja Mandala ini terasa secara nyata, umat dari masing-masing agama saling bergotong royong dan membantu, sehingga menciptakan damai bagi setiap manusia.