Jakarta (ANTARA) - Sebuah aturan baru dalam pendidikan belum lama ini disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tentang tugas akhir mahasiswa tidak harus membuat skripsi, tapi bisa digantikan karya ilmiah lain.
Mahasiswa lega karena ada pilihan sesuai kemampuan dan minatnya, mau membuat skripsi atau nonskripsi. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa tugas akhir mahasiswa bisa berbentuk prototipe, proyek, atau karya bentuk lainnya, sama-sama sebagai karya ilmiah.
Baca juga: Unair terapkan lulus kuliah tanpa skripsi sejak 2020
Dengan peraturan ini, maka kampus secara merdeka dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terintegrasi.
Mahasiswa sebagai kelompok intelektual mempunyai tempat tersendiri dalam hati dan kehidupan masyarakat, apalagi tidak semua orang dapat melanjutkan pendidikannya sampai selesai di perguruan tinggi.
Bagi mahasiswa sendiri, maka statusnya menjadi suatu kebanggaan. Perlu waktu sekolah 12 tahun sejak SD untuk bisa masuk perguruan tinggi. Setelah itu, ia perlu tambahan empat tahun lagi menyelesaikan kuliah untuk menjadi sarjana.
Menjelang akhir kuliah inilah justru menjadi tahapan mendebarkan bahkan menegangkan karena sambil magang mereka wajib menyelesaikan skripsi.
Tidaklah heran, jika mereka berhasil menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, maka biasanya akan ada pesta atau karangan bunga sampai penampilan yang wah di media sosial.
Namun, di balik itu semua, tidak semua mahasiswa dapat berjalan dengan tegak mulus untuk menjadi sarjana, apalagi sampai ke tingkat doktor.
Segudang kasus yang terjadi yang dapat menghambat perjalanan kuliah mereka, mulai dari keterbatasan dana, komunikasi dengan dosen pembimbing, tuduhan plagiat, hingga urusan keluarga.
Intinya adalah, tidak mudah untuk menggapai gelar sarjana sampai doktor. Banyak yang putus di tengah jalan, ada yang sakit sampai akhirnya bunuh diri untuk menghadapi urusan kuliah.
Baca juga: Rektor: Lulus tanpa skripsi bisa jadi pilihan mahasiswa
Seorang Ibu rumah tangga langsung menemui pimpinan kampus untuk melaporkan anaknya yang selalu sakit setiap hari Senin hanya karena hari itu sang anak harus bertemu dengan dosen pembimbing.
Di sisi lain, ada mahasiswa akhirnya meninggal di rumah sakit karena stres berat melihat coret-coretan tinta merah dosen pembimbingnya. Dosen pembimbing skripsi, tesis, atau disertasi sering kali diidentikkan sebagai dosen killer meski maksudnya selalu baik. Apalagi bila ditambah dengan ketentuan skripsi, tesis, atau disertasi harus dimuat di jurnal ilmiah.
Itulah sekelumit kisah para mahasiswa yang ingin belajar baik-baik dengan menyenangkan di kampus memang akhirnya dihadapkan pada situasi dan masalah cukup berat. Mereka juga harus lulus mata kuliah prasyarat seperti metode penelitian. Namun, tidak semua mahasiswa menderita karena urusan kuliah. Sebagian besar berjalan dengan nyaman yang berakhir dengan cumlaude.
Dengan Permendikbudristek No 53/2023, perguruan tinggi dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terintegrasi sebagai tugas akhir mahasiswa. Dengan demikian, perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk merancang sendiri standar kelulusan mahasiswa.
Mahasiswa pun dapat merancang tugas akhir sesuai dengan minat dan kemampuannya. Apa pun pilihannya, skripsi atau nonskripsi, maka dasar pijakannya adalah sebuah karya ilmiah, yang tentu saja memiliki pakem yang harus dikuasai mahasiswa.
Dalam konteks ini, kemudahan dan kebebasan untuk membuat sebuah tugas akhir tentu saja diharapkan tidak menjadi beban berat model baru. Artinya, jangan sampai model nonskripsi menjadi model stres baru, yang dapat menghambat kelulusan.
Baca juga: Anjar Sasmito, mahasiswa yang lulus tanpa skripsi sepulang dari Spanyol
Mahasiswa perlu menyadari bahwa kelonggaran tidak membuat skripsi sebenarnya bukanlah urusan untuk menggampangkan kelulusan. Skripsi atau nonskripsi tetaplah sebuah karya ilmiah karena nilai hakiki di dalamnya adalah menegakkan kebenaran yang bersifat fakta dan objektif dengan metodologi.
Dengan demikian, tugas akhir apa pun bentuknya sebagai karya ilmiah merupakan suatu kebanggaan melekat pada mahasiswa, yang justru akan membedakannya dengan yang bukan mahasiswa.
Untuk itu, mahasiswa hendaknya mampu menentukan pilihan jalur skripsi dengan ujian teori atau nonskripsi dengan uji kompetensi dan kreativitas.
Bagaimana memilihnya?
Ada konsep AKU (ambisi, kemampuan, dan usaha) yang diperkenalkan Dewi Budi Matindas, pakar psikologi, sebagai alat ukur diri, sehingga mahasiswa dapat menyelesaikan tugasnya dengan aman dan nyaman.
Mahasiswa perlu mengenali ambisinya, misalnya, merancang model kampanye setop merokok di kalangan remaja dengan lomba band sekolah, atau membuat kedai kopi dengan model persahabatan, maka ia juga harus mampu dan menguasai teori komunikasi interpersonal. Ini artinya, proyek pun memerlukan landasan teori.
Selain itu, menurut teori Pusat Kendali Internal (Locus of Control, JB Rotter, 1958 ), mahasiswa harus yakin dan percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Bahkan dia bisa mengendalikan lingkungan sekitarnya sesuai dengan kebutuhannya.
Baca juga: Meninggal usai skripsi, wisudawati Universitas Muhammadiyah Bengkulu digantikan orangtua
Dengan tipe model kepribadian seperti ini, mahasiswa menyadari kemampuannya sendiri dalam menentukan pilihannya karena dia yakin dengan ambisi dan kemampuannya sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain kalau dia mengalami kegagalan.
Ini artinya, kemerdekaan belajar dalam memilih jalur skripsi atau nonskripsi justru menjadi tantangan lebih berat bagi mahasiswa.
Ia tidak bisa hanya berangan-angan semata untuk menyelesaikan tugas akhirnya karena setiap ambisi harus diimbangi dengan kemampuan dan usaha keras.
*Penulis adalah mantan Kepala Lembaga Pendidikan Jurnalistik (LPJA) Kantor Berita Antara
Pilihan jalur skripsi dan nonskripsi sebagai karya ilmiah
Sabtu, 9 September 2023 21:57 WIB 1167