Fenomena ini bukan sekadar isu moral, melainkan ancaman nyata bagi prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan kejujuran.
"Namun karena ada politik uang, kita terkadang memilih bukan karena (kualitas dan kompetensi) figur, tetapi karena uang atau barang (yang ditawarkannya)," ujarnya.
Dalam banyak kasus, politik uang tidak hanya berbentuk uang tunai, tetapi juga dalam bentuk barang seperti sembako yang diberikan kepada masyarakat agar memilih kandidat tertentu.
Politik uang menciptakan ketimpangan dalam kompetisi pemilu, sebab kandidat dengan dana melimpah memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan suara dengan cara ini, sementara kandidat dengan ide atau program kerja yang kuat namun tanpa dana besar akan sulit bersaing.
Baca juga: Segini total honor petugas Pilkada Kota Bengkulu yang capai miliaran
Hal ini, menurut Fahruri, merusak makna pemilu sebagai wadah pencarian pemimpin terbaik yang memiliki visi untuk memajukan daerah.
Fahruri mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan politik uang terus terjadi di setiap pemilu, terutama di Kota Bengkulu. Salah satu faktor utama adalah kondisi ekonomi masyarakat.
Sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah masih rentan terhadap tawaran insentif, yang kemudian menjadi faktor yang memengaruhi keputusan memilih.
Saat kampanye berlangsung, masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi lebih mudah tergoda oleh iming-iming materi daripada mempertimbangkan visi dan misi kandidat.
Selain faktor ekonomi, kurangnya pendidikan politik juga berkontribusi besar dalam masalah ini. Banyak pemilih pemula atau masyarakat umum yang belum memahami pentingnya memilih berdasarkan program kerja dan visi kandidat, bukan semata-mata karena pemberian materi.
Akibatnya, politik uang yang awalnya hanya terjadi dalam bentuk kecil kini semakin meluas dan dianggap wajar.
"Politik uang ini sulit untuk dibuktikan, sama dengan halnya korupsi yang tercium tapi tidak terlihat. Analogi sederhananya seperti orang buang angin, berbau tapi tidak terlihat," kata Fahruri.
Dampak politik uang
Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Indonesia, berdasarkan rilis hasil survei yang disampaikan baru-baru ini menyatakan terdapat 35 persen responden yang menentukan pilihannya karena uang pada Pemilu 2024 dan meningkat dari dari tahun 2019 yang sebesar 28 persen.
Baca juga: Menjaga komitmen demi Pilkada damai di Bumi Rafflesia
Indikator Indonesia melakukan survei seusai pencoblosan Pileg/ Pilpres pada 14 Februari di 3 ribu TPS. Dengan jumlah responden sebanyak 2.975 menunjukkan pemilih yang menolak politik uang menurun.
Pada Pemilu 2024 didapati prosentase 8 persen yang menolak politik uang, sedangkan pada 2019 sebesar 9,8 persen.
Sementara itu, Berdasarkan data dari Bawaslu Kota Bengkulu, pada Pemilu 2024 terdapat 38 laporan ataupun temuan adanya tindakan politik uang.
Laporan dan temuan itu terdiri dari 31 kasus yang dijadikan pelanggaran administrasi. Kemudian, dua kasus ditetapkan sebagai pelanggaran etik dan lima ditetapkan sebagai sebagai tindak pidana, namun untuk lima kasus pidana tersebut dihentikan karena kurangnya cukup bukti.
Penindakan Politik Uang
Ahmad Maskuri, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kota Bengkulu, mengungkapkan bahwa setiap bentuk pelanggaran akan diproses sesuai tingkatannya.