Direktur Women`s Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempuan Provinsi Bengkulu Tety Sumeri mengaku, geram dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan.
Menurut perempuan kelahiran Padang, Sumatera Barat, 22 September 1969 itu, aparat penegak hukum (APH) belum menjalankan tugas dan fungsi sebagai penegak hak keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan.
Justru sebaliknya, mereka melakukan tindakan `Luka Hukum` bagi perempuan korban kekerasan," kata istri Nurkholis Sastro itu.
Sebagai contoh, lanjutnya, dalam tiga tahun terakhir di Bengkulu dari 25 kasus perdagangan perempuan untuk tujuan seksual hanya tiga kasus yang diproses melalui hukum dengan putusan hukum yang rendah di bawah lima tahun.
Pelaku tindak pidana berat seperti perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual diberikan penangguhan penahanannya, dijatuhkan sanksi pidana penjara di bawah lima tahun, jika terjadi perdamaian dengan korban dan keluarga maka proses hukumnya bisa dihentikan saja.
"Ini bukti bahwa sistem hukum kita betapa mudah dipengaruhi oleh hal-hal di luar kewajaran. Jika pelakunya orang yang berkuasa, memiliki modal/ uang, pejabat publik dan bagian dari APH jangan heran proses hukumnya akan berjalan lambat bahkan hilang dalam perjalanan," kata dia.
Ia menjelaskan, bersama lima orang teman perempuan yang aktif di Youth Center PKBI Daerah Bengkulu, menggagas pendirian organisasi Women`s Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempua pada 25 November 1999, dan masih aktif sampai sekarang.
Organisasi tersebut lahir berpijak dari keresahan dan keprihatinan terhadap persoalan yang sangat serius saat itu yakni kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Bengkulu.
"Sebagai organisasi yang berbentuk WCC lebih mengfokuskan diri untuk perlindungan dan pembelaan hak-hak perempuan korban kekerasan," katanya.
Menyinggung ketertarikan di organisasi yang terkait perempuan, Tety yang sejak mahasiswi mengaku aktif di organisasi mengatakan, pertama karena ia seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan dalam komunitas sosial yang kuat dengan nilai-nilai dan norma budaya patriarki, yang membuat dirinya serta perempuan lainnya sarat dengan kerentanan terhadap kekerasan sekecil apa pun itu.
"Pembakuan peran gender dan ideologi gender ini, membuat leluasa laki-laki disosialisasikan untuk mengobyekan perempuan; mengomentari dan mentertawakan, menghina tubuh perempuan dan perilaku perempuan jika ia tomboy, seksi dan blabla� lainnya yang mempengaruhi pembentukan konsep diri dan kepercayaan dirinya," jelas dia.
Banyaknya aturan-aturan yang diharuskan dan dilekatkan pada perempuan, lanjut Tety, mulai dari keluarga, lingkungannya dan aturan-aturan negara yang mengekang dan mengungkung dirinya dalam sebuah kotak.
"Saya sebagai perempuan juga mengalami peristiwa-persitiwa itu dalam perjalanan hidup saya; dilecehkan secara fisik dan secara pemikiran/ intelektual saya sebagai perempuan," kenang dia.
Pengalaman pribadi, pengalaman perempuan lain di sekitar dan interaksi humanistik dengan teman-teman, ujarnya, menumbuhkan dan mempertegas idiologi �keberpihakan� pada komunitas yang lemah yang mengalami ketidakadilan �perempuan�.
"Beragam pembelajaran saat menjadirelawan di beberapa NGO sejak mahasiswi semakin mempertegas pilihan untuk beraktivitas di NGO. Kendaraan untuk perjuangan akan perubahan hidup perempuan yang lebih baik, dihargai, dihormati dan otonom atas dirinya dan pastinya terbebas dari kekerasan, yang saya yakini efektif dan aspiratif adalah organisasi perempuan," kata dia.
Pemerintah Belum Optimal
Menurut Tety Sumeri yang memiliki moto "The personal is political", komitmen dan kemauan politik pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya terhadap persoalan perempuan terutama dari persoalan kekerasan, kemiskinan dan kesehatan jika dibandingkan dengan persoalan pemilihan kepala daerah kurang penting, tidak dianggap persoalan politis dan tidak menjadi tolok ukur pembangunan pemerintahan yang baik dan bersih.
"Kita bisa lihat, efektivitas dan optimalisasi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan daerah seperti PERDA No. 21/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dan PERDA No. 22/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan dan Anak di Provinsi Bengkulu," kata dia.
Kebijakan yang ada, lanjutnya, tidak diikuti dengan kebijakan alokasi anggaran daerah yang memadai, tidak berkesinambungan dan tidak sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Menurut perempuan yang masa pendidikannya sejak SD hingga perguruan tinggi di Padang itu, memang sudah ada kepedulian pemerintah terhadap isu perempuan. Dibuktikan dengan ditetapkannya PERDA yang bertujuan untuk melindungi dan memenuhihak-hak perempuan khususnya dari kekerasan terhadap perempuan.
Rumusan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagai strategi perencanaan program pembangunan dan perencanaan anggaran daerah.
Namun, implementasikan dalam APBD jauh dari yang diharapkan dan ketetapan peraturan pemerintah. Program penanggulangan kemiskinan yang berjalan belum terintegrasi dengan program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan kesehatan perempuan terutama bagi perempuan dari keluarga tak mampu yang rentan dari kekerasan.
Pasca-kekerasan, perempuan dari keluarga miskin masih membutuhkan penguatan ekonomi untuk dapat melanjutkan kehidupan dan melepaskan ketergantungan ekonomi dari pelaku kekerasan.
"Maka dibutuhkan kebijakan afirmatif dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan bagi perempuan keluarga miskin yang mengalami kekerasan terhadap dirinya dalam hal penguatan ekonomi dan keterampilan hidup (life skills)," katanya.
Perempuan Harus Waspada
Terkait kian maraknya kekerasan terhadap perempaun, Tety mengingatkan bahwa perempuan harus meningkatkan kewaspadaan atas dirinya dengan dibekali pengetahuan yang komprehensif tentang seksual dan kesehatan reproduksi dan keterampilan bela diri (self defence for women) sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan atas dirinya. Sebab, lanjutnya, pelaku kekerasan seksual umumnya dilakukan oleh orang yang dikenal baik oleh perempuan korban dan bagian terdekat dari keseharian hidup perempuan.
Orang tua harus mulai terbuka dengan pemikiran dan berani meruntuhkan mitos seksualitas adalah tabu. Artinya, pendidikan seksual yang komprehensif sudah diberikan oleh orang tua sejak dini kepada anak-anak mereka baik perempuan dan laki-laki. Agar anak-anak memahmi secara baik dan utuh mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi sesuai usia dan perkembangan psikoligisnya.
"Sehingga mereka dapat menghargai dirinya dan menghargai hak-hak seksual dan kespro orang-orang di sekitar dirinya," kata dia.
Selain itu, penting memperkuat kembali kontrol sosial yang digerakkan oleh tokoh agama, tokoh adat dan perangkat sosial dan pemerintah setempat untuk mencegah terjadi kekerasan seksual dan memberikan sanksi sosial yang berat kepada pelaku kekerasan seksual sebagai sanksi lain selain hukum yang berlaku.
Kemudian, memperkuat cara pandang dan kesadaran masyarakat, bahwa perempuan korban bukanlah pelaku kekerasan yang terjadi atas dirinya. Dan perempuan korban tidak punya andil atas terjadinya kekerasan seksual yang dialaminya.
Maka pelaku kekerasan harus bertanggungjawab atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukannya baik secara hukum dan secara sosial.
Aparat penegak hukum (APH) juga terus membuka diri secara pemikiran, perspektif keberpihakan pada hak-hak perempuan korban kekerasan dan meningkatkan sikap dan perilaku yang responsif terhadap perempuan korban kekerasan dalam penanganan hukumnya.
"Menyadari dengan sungguh-snugguh bahwa kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual merupakan tindakan pidana berat dan salah satu pelanggaran HAM Perempuan. Maka mari bersama-sama dengan lembaga penyedia layanan lainnya medis, psiko-sosial saling memperkuat bangun kesepahaman dan jalinan kerjasama dalam memperjuangkan hak-hak perlindungan hukum perempuan korban kekerasan.
Bermakna Bagi Orang Lain
Tety yang mendapat dukungan penuh dari sang suami mengatakan, ketika mampu memfasilitasi persoalan-persoalan perempuan baik secara individu atau berkelompok dan dapat meyakinkan pemerintah untuk melahirkan kebijakan bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dari kekerasan dan kemiskinan, ada kelegaan dan merasa hidup ada makna bagi orang lain.
"Saya dan suami memiliki ideologi yang sejalan yang disalurkan melalui beraktifitas di lembaga swadaya masyarakat. Dia tidak hanya sebagai pasangan hidup melainkan juga teman diskusi kerja, salah satu sumber inspirasi dan motivator saya dalam menjaga konsistensi ideologi saya," katanya.
Begitu juga Keluarga; orang tuanya menghargai pilihan hidup Tety. Mereka memahami bahwa beraktivitas di NGO sama nilai dan harganya bekerja sebagai PNS, pegawai swasta, guru, dosen, dokter, pengusaha dan lainnya.
"Saya dan tiga orang saudara lainnya menghabiskan masa produktif dalam hidup di NGO sampai saat ini," katanya.
Tety mengharapkan, semakin banyak pihak yang peduli terhadap persoalan perempuan terutama soal kekerasan, kemiskinan dan pemiskinan perempuan semakin mempercepat proses pengurangan kekerasan terhadap perempuan. Dan pada saat yang bersamaan mendorong perubahan perspektif dan perilaku yang diskriminatif terhadap hidup dan penghidupan perempuan dalam ruang kebijakan pembangunan negara dan berbangsa.
Program-program intervensi yang strategis perlu dikembangkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan harapan itu antara lain: peningkatan akses terhadap pelayanan (medis, hukum dan psiko-sosial) yang berkualitas dan berbasis hak bagi perempuan korban kekerasan.
Kemudian, perempuan dari keluarga miskin dan marjinal; akses terhadap penguatan ekonomi perempuan terutama perempuan rentan dan marjinal dari kemiskinan dan pemiskinan; pendidikan politik dan kepemimpinan perempuan; peningkatan jaminan sosial bagi perempuan terutama perempuan dari keluarga tidak mampu dan marjinal
Berikutnya penguatan komitmen dan kemauan politik pemerintah daerah dalam pennyusunan kebijakan dan alokasi anggaran daerah yang responsive gender dan kebijakan yang melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan terutama dari kekerasan dan kemiskinan.
Terkait duka dalam menjalankan aktivitasnya, Tety mengaku bersama teman-temannya sebagai relawan yang bergiat untuk pembelaan hak-hak perempuan korban kekerasan di WCC Cahaya Perempuan, tidak hanya merasakan duka melainkan terluka, marah dan bahkan apatis terhadap proses-proses penegakan hak keadilan hukum atas kinerja APH yang jauh dari keberpihakan pada hak keadilan hukum perempuan korban kekerasan.
"Sistem hukum kita sendiri justru lebih banyak membela kepentingan pelaku kekerasan dari pada pembelaan hak-hak perempuan korban kekerasan," tegasnya.
Bagaimana cara memberikan dukungan atau penanganan terhadap kasus kekerasan seksual dengan pelaku masih keluarga kandung?
"Bagi saya, dukungan hanya diarahkan untuk korban kekerasan seksual bukan untuk pelaku kekerasan seksual yang telah merampas hak dan martabat hidup perempuan korbannya. Kejahatan seksual merupakan tindakan pidana berat dan pelanggaran Ham perempuan, maka sudah seharusnya dukungan penuh dan komprehensif diberikan kepada perempuan korbannya," kata dia.
Pelaku kekerasan seksual harus bertanggung jawab penuh 100 persen atas tindakan kekerasan seksual yang dilakukannya secara hukum yang berlaku dan secara sosial. Termasuk bertanggungjawab atas kehancuran hidup anggota keluarga lainnya. Karena kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga kandung menimbulkan dampak psiko-sosial tidak hanya pada korban langsung tetapi juga pada anggota keluarga lainnya terutama pada istri jika pelaku sudah menikah.
Tety juga menjelaskan pengalamannya bersama teman-teman di WCC Cahaya Perempuan yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku yang mempunyai hubungan darah atau orang yang telah menjadi orang tua angkat/tiri (incest) terhadap perempuan korban berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama bahkan sampai 10 tahun dari usia korban lima tahun sampai 16 tahun.
Hal tersebut bisa berlangsung lama, karena korban selalu di bawah ancaman dan intimidasi pelaku. Ancaman keselamatan nyawa dan di bawah ancaman senjata tajam. Dan dilakukan dalam kondisi sepi dan korban dipastikan tidak bisa menyelamatkan diri.
Tidak hanya itu, pelaku juga memanfaatkan ketergantungan korban baik secara ekonomi dan secara kemampuan daya pikir dan nalarnya serta kemampuan antisipasi untuk penyelematan dirinya.
Relasi kekuasaan yang patron-klien ayah- anak ini menjadi senjata ampuh pelaku untuk menundukkan perempuan korban sebagai sasaran penyerangan seksualnya.
Jumlah kasus incest yang ditangani dari seluruh kasus kekerasan seksual oleh WCC Cahaya Perempuan per tahun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini sekitar 30 persen.
Ini menunjukan bahwa rumah pun tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk menjalani kehidupannya.
Target organisasi ini
Secara personal dan kolektif bersama teman-teman di WCC Cahaya Perempuan organisasi merupakan sarana atau kendaraan perjuangan untuk gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Setidaknya dapat mencegah dan menekan sekecil mungkin terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan oleh semua elemen, pemerintah daerah, masyarakat dan stakeholders lain serta media tentunya.
"Media memiliki daya pengaruh yang besar untuk membentuk dan mengarahkan opini semua elemen ke arah keberpihakan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan khususnya dari kekerasan, dan terpenting lainnya media sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia mempunyai tanggungjawab dan tangunggugat untuk memastikan berjalannya proses demokratisasi di Indonesia yang mampu melindungi dan memenuhi hak-hak konstitusional perempuan," katanya.
Ia juga menjelaskan, peran perempuan di Bengkulu masih berada pada kondisi �transisi�. Perempuan belum mempunyai ruang publik yang cukup untuk mengaspirasikan suara dan kepentingan mereka sebagai bagian dari warga negara.
"Hak-hak mereka belum sepenuhnya dilindungi dan dipenuhi oleh pemerintah daerah sebagai mana diatur dalam konstitusi," kata dia.
Meskipun sudah mulai bermunculan perempuan sebagai pemimpinan pemerintahan; sebagai Kades/Lurah, Camat, Wakil Wali kota, beberapa perempuan juga duduk sebagai kepala dinas/badan/ SKPD, namun pada dinas/skpd yang terkait langsung dalam pemberdayaan perempuan di tempati oleh laki-laki yang secara kapasitas masih sangat terbatas pengusaannya atas konsep program pemberdayaan perempuan yang dimaksudkan.
Kehadiran mereka dalam posisi strategis itu belum sepenuhnya mampu mengubah keadaan kehidupan perempuan lebih baik dan sejahtera. Pemikiran mereka sendiri mengikuti pemikiran yang miskin, mereka belum mempunyai �icon� sebagai politikus perempuan sebagai pemimpin perempuan.
Kondisi tersebut terkait erat dengan kapasitas pengetahuan mereka yang masih netral gender. Soal-soal afirmasi masih perlu dipahamkan lebih mendalam.
Organisasi-organisasi perempuan juga terus berkembang di Bengkulu walaupun program atau aktivitas mereka secara tidak sadar juga mendomestifikasi pemikiran dan ruang gerak mereka pada peran gandanya. Dan secara pengetahuan juga masih pada pemahaman netral gender belum pada kesadaran kritis pemikiran pentingnya afirmasi bagi kemajuan perempuan dalam ruang-ruang kehidupan mereka secara menyeluruh.
Sedangkan terkait hak politik, sebagai warga negara, perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan yang lain.
"Jika dibandingkan dengan komposisi jumlah penduduk di Bengkulu, jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Artinya suara perempuan lebih mendominasi dan seharusnya mampu mempengaruhi perubahan kebijakan pembangunan daerah yang responsif terhadap kepentingan perempuan," katanya.
Perempuan juga memiliki hak yang sama untuk masuk dalam sistem pemerintahan baik di legislatif maupun di eksekutif (pemimpin daerah, kepala dinas/SKPD). Kebijakan tindakan afirmatif minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam ruang politis merupakan peluang namun sekaligus juga tantangan untuk membuktikan daya pengaruh politis dirinya untuk mengubah sistem pembangunan yang mampu melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan, setidaknya hak perempuan dari keluarga miskin/ tak mampu, dari kelompok rentan dan marjinal yang rentan akan tindakan kekerasan.
"Selain itu, perempuan juga ditantang dan rentan dari tindakan `money politic`. Perempuan menjadi objek dan target `politik uang` bagi calon legislatif dan calom pemimpin daerah provinsi/kabupaten/kota," katanya.
Calon legislator dan calon pemimpin daerah dari perempuan sulit menghindar dari cara-cara berpoltik yang maskulin negatif ini politik uang.
Kebanyak perempuan yang mencalonkan diri, juga tidak mampu bersaing dengan calon laki-laki karena kekurangan modal dana.
"Sudah dapat dibayangkan dan bahkan sudah terbukti dalam praxis-nya perempuan banyak yang kalah dalam percaturan dunia politik `kekuasaan` ini dibandingkan dengan laki-laki. Lagi-lagi kebijakan pembangunan daerah diwarnai dengan cara pemikiran maskulinitas patriaki yang meminggirkan suara dan kepentingan perempuan," tandasnya.*