Kota Bengkulu (ANTARA) - Serangan udara Israel yang dimulai sejak fajar Rabu hingga Kamis kembali merenggut nyawa sedikitnya 17 warga Palestina di berbagai wilayah Jalur Gaza. Pemboman yang terus-menerus ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat, sementara Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant Katz, melontarkan ancaman keras kepada puluhan ribu warga yang masih bertahan di Kota Gaza.
Katz menulis melalui platform X, menyatakan, “siapa pun yang tinggal akan dianggap sebagai teroris dan pendukung teror.” Pernyataan ini mengemuka setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi paksa, menyebutkan bahwa ini adalah kesempatan terakhir bagi warga Gaza untuk meninggalkan wilayah tersebut atau menghadapi kekuatan penuh dari serangan militer Israel.
Kota Gaza menjadi sasaran utama pengeboman, dengan banyak bangunan hancur rata, termasuk rumah tinggal dan sekolah. Ribuan warga sipil yang mencoba melarikan diri ke selatan terhalang oleh ancaman serangan udara.
Jurnalis Al Jazeera, Hani Mahmoud, yang melaporkan dari jalan Al Rashid, mengatakan, “militer Israel memerintahkan orang-orang untuk pergi, lalu mengejar mereka di rute pesisir selatan dengan helikopter, drone, dan tank, menciptakan kekacauan dan kepanikan.”
Mahmoud menambahkan, “sebagian besar orang tidak meninggalkan Kota Gaza karena ketakutan dan intimidasi yang diciptakan oleh militer Israel.”
Serangan terbaru menambah panjang daftar korban. Seorang anak dilaporkan tewas akibat tembakan drone di daerah Ansar, sebelah barat Kota Gaza. Di Gaza Tengah, sembilan orang tewas dan 13 lainnya terluka setelah serangan menghantam kelompok pengungsi. Serangan pesawat tak berawak di kamp pengungsi al-Bureij juga menewaskan seorang warga Palestina bersama istrinya.
Sementara itu, di Deir El Balah, lebih dari sepuluh orang mengalami luka-luka akibat serangan drone, dan di Khan Younis, wilayah selatan Jalur Gaza, delapan orang terluka setelah sebuah drone Israel membom tenda pengungsi di dalam kampus Universitas Al Aqsa, meskipun kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai zona aman.
Di tengah kekacauan ini, militer Israel juga menutup Jalan Al Rashid, salah satu jalur vital yang digunakan warga untuk berpindah antarwilayah. Akibatnya, ribuan orang yang sudah terpaksa melarikan diri dari utara ke selatan kini terjebak dalam perjalanan yang semakin berbahaya.
Keadaan ini membuat sejumlah organisasi kemanusiaan, seperti Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan Dokter Tanpa Batas (MSF), terpaksa menghentikan sementara operasi mereka di Kota Gaza.
ICRC mengungkapkan, “Kami akan terus berusaha memberikan dukungan kepada warga sipil di Kota Gaza, kapan pun keadaan memungkinkan, dari kantor kami di Deir El Balah dan Rafah yang tetap beroperasi penuh.”
Sementara itu, Hamas masih mempertimbangkan proposal gencatan senjata dari Amerika Serikat untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun. Namun, penerimaan terhadap rencana tersebut masih belum pasti karena syarat-syarat yang dianggap lebih menguntungkan pihak Israel.
