Namun, keputusan tetap berada di tangan pemerintah daerah dan DPRD ketika itu memilih menetapkan tanggal 15 Agustus sebagai Hari Jadi Jateng, apalagi sudah ada UU Nomor 10/1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah.
"Keputusan politik saat itu (diambil, red.) berdasarkan aspek yuridis formal, sedangkan fakta historis kurang dipilih. Ya, enggak apa-apa," kata Ketua Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Undip itu.
Ternyata, Pengurus Dewan Harian Daerah 1945 Provinsi Jateng menyampaikan aspirasi kepada Pemprov dan DPRD Jateng mengenai Hari Jadi Provinsi Jateng sehingga pada tahun lalu diadakan pembahasan ulang.
"Saat akan diadakan pembahasan ulang, saya hanya hadir saat dengar pendapat dengan DPRD. Proses selanjutnya diikuti Prof Yety karena beliau menjadi Tim Penelusuran 2003 dan yang merespons surat-surat dari Pengurus Harian 1945," ungkapnya.
Akhirnya, setelah 20 tahun terjadi perubahan Hari Jadi Jateng dari semula tanggal 15 Agustus menjadi tanggal 19 Agustus, sebagai keputusan yang lebih menekankan pada fakta-fakta historis.
Namun, Dhanang mengingatkan bahwa sejarah sebenarnya tidak hanya berhenti pada masa lalu, tetapi yang lebih penting untuk masa kini, dan menjadi panduan untuk menapak di masa depan.
Peringatan hari jadi yang dilakukan setiap tahun juga bukan dilakukan tanpa tujuan, tetapi menjadi momentum untuk berbenah diri dan berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Untuk apa mengubah hari jadi kalau tidak mampu mengubah semangat atau spirit menjadi lebih baik lagi? Bagaimana kemudian, misalnya, Jateng di usianya yang ke-79 ternyata masih menjadi provinsi termiskin kedua," katanya.
Artinya, perubahan Hari Jadi Pemprov Jateng harus diejawantahkan dalam berbagai program dengan memaksimalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki provinsi ini untuk semakin menyejahterakan masyarakat.
Editor: Achmad Zaenal M